REPORTER.ASIA -- Amerika Serikat menjadi sorotan dunia internasional setelah lembaga pengawas lingkungan Basel Action Network (BAN) mengungkap adanya praktik ekspor limbah elektronik beracun secara masif ke negara-negara berkembang di Asia, termasuk Asia Tenggara. Fenomena ini digambarkan sebagai “tsunami tersembunyi” yang terus mengalir tanpa pengawasan memadai.
Direktur Eksekutif BAN, Jim Puckett, menegaskan bahwa sedikitnya ada sepuluh perusahaan besar asal Amerika Serikat yang terlibat dalam pengiriman limbah elektronik ke negara-negara yang bahkan telah melarang impor e-waste.
Nilai perdagangan gelap tersebut diperkirakan mencapai sekitar US$200 juta per bulan, atau setara dengan Rp3,2 triliun. “Kegiatan semacam ini tidak hanya berpotensi melanggar hukum internasional dan prinsip ESG, tapi juga mengancam kesehatan masyarakat serta lingkungan di Asia,” ujar Puckett dalam keterangan tertulisnya.
Dalam laporan terbarunya yang dirilis pada Rabu (22/10/2025), BAN yang berbasis di Seattle menyebut bahwa ekspor limbah elektronik ini dilakukan secara sistematis oleh jaringan perusahaan yang memanfaatkan celah hukum dan lemahnya pengawasan lintas negara.
BAN menyebut fenomena ini sebagai “tsunami limbah elektronik baru yang hampir tak terlihat” karena praktik tersebut berjalan di balik label perdagangan daur ulang yang tampak legal di permukaan.
Laporan tersebut menjelaskan bahwa sebagian besar peralatan teknologi informasi milik publik dan perusahaan Amerika diekspor secara diam-diam ke Asia Tenggara untuk diproses dalam kondisi kerja yang berbahaya.
Malaysia disebut sebagai salah satu negara penerima utama dari aliran limbah berbahaya ini. BAN memperkirakan, antara Januari 2023 hingga Februari 2025, pengiriman e-waste tersebut mencapai sekitar 6 persen dari total perdagangan Amerika Serikat dengan Malaysia.
Investigasi BAN juga menemukan bahwa praktik ini difasilitasi oleh jaringan “perantara tidak diatur” yang beroperasi di sekitar zona industri Los Angeles. Banyak di antara mereka mengklaim sebagai perusahaan daur ulang yang bertanggung jawab, namun pada kenyataannya mengekspor limbah berbahaya dengan cara salah mengklasifikasikan kargo sebagai bahan baku atau perangkat elektronik siap pakai.
Di negara-negara tujuan, termasuk Malaysia, Thailand, dan Vietnam, limbah elektronik tersebut sering kali berakhir di fasilitas pengolahan ilegal.
Proses daur ulang dilakukan dengan metode berisiko tinggi seperti pembakaran terbuka atau pencucian menggunakan asam, yang melepaskan bahan kimia beracun ke udara dan mencemari sumber air.
Para pekerja, banyak di antaranya tidak memiliki perlindungan keselamatan memadai, kerap terpapar langsung bahan berbahaya seperti timbal, merkuri, dan kadmium.
Data terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa total limbah elektronik global pada 2022 telah mencapai 62 juta metrik ton, namun kurang dari seperempat yang berhasil didaur ulang dengan benar. Dengan meningkatnya konsumsi perangkat digital di seluruh dunia, angka tersebut diperkirakan melonjak menjadi 82 juta metrik ton pada 2030.
BAN menyerukan agar pemerintah Amerika Serikat memperketat regulasi ekspor limbah elektronik dan menegakkan sanksi tegas terhadap perusahaan yang terlibat dalam praktik tersebut.
