BSW0TpYiGSY8GUroTUOoGfMiBA==
  • Default Language
  • Arabic
  • Basque
  • Bengali
  • Bulgaria
  • Catalan
  • Croatian
  • Czech
  • Chinese
  • Danish
  • Dutch
  • English (UK)
  • English (US)
  • Estonian
  • Filipino
  • Finnish
  • French
  • German
  • Greek
  • Hindi
  • Hungarian
  • Icelandic
  • Indonesian
  • Italian
  • Japanese
  • Kannada
  • Korean
  • Latvian
  • Lithuanian
  • Malay
  • Norwegian
  • Polish
  • Portugal
  • Romanian
  • Russian
  • Serbian
  • Taiwan
  • Slovak
  • Slovenian
  • liish
  • Swahili
  • Swedish
  • Tamil
  • Thailand
  • Ukrainian
  • Urdu
  • Vietnamese
  • Welsh

Sengketa Bilateral dan Aliansi Militer Bayangi Stabilitas Kawasan ASEAN


REPORTER.ASIA ---
Konfigurasi geopolitik Asia Tenggara kembali mendapat sorotan seiring meningkatnya ketegangan bilateral antar negara anggota ASEAN. Beragam sengketa sejarah, isu perbatasan, dan dinamika aliansi militer negara-negara anggota menegaskan bahwa tantangan terbesar bagi kohesi ASEAN justru datang dari dalam kawasan sendiri. 

Dalam kerangka tersebut, keandalan mekanisme regional dalam merespons konflik internal menjadi tema penting yang dibahas dalam berbagai forum kebijakan luar negeri, termasuk pada Conference on Indonesian Foreign Policy (CIFP) 2025 di Jakarta.

Dalam forum tersebut, Peneliti Senior sekaligus Koordinator Program Studi Strategis dan Politik Regional ISEAS–Institut Yusof Ishak, Hong Thi Ha, menekankan bahwa ASEAN sebenarnya memiliki seperangkat mekanisme penyelesaian sengketa yang telah diatur dalam Piagam ASEAN. 

Namun, ia mengkritik kecenderungan terbaru di mana negara-negara anggota semakin kehilangan naluri menjadikan ASEAN sebagai rujukan utama ketika menghadapi persoalan bilateral. 

“Masalahnya, negara-negara anggota ASEAN, entah bagaimana telah kehilangan naluri untuk mengutamakan ASEAN ketika mereka memiliki masalah bilateral,” ujar Ha dalam forum CIFP 2025 di Jakarta, Sabtu (29/11/2025).

Ia menegaskan bahwa kondisi tersebut membuka celah bagi meningkatnya keterlibatan pihak eksternal dalam konflik internal ASEAN, berlawanan dengan tujuan awal pembentukan organisasi regional ini.

Masalah kohesi regional ini tidak muncul dalam ruang hampa. Konflik internal yang bersumber dari sengketa warisan sejarah menjadi salah satu tantangan terbesar. Ha mengidentifikasi bahwa klaim Filipina atas Sabah, meski tidak selalu mencuat di ruang publik, tetap memengaruhi hubungan Manila dan Kuala Lumpur. 

Sengketa tersebut, menurutnya, berdampak lanjutan terhadap sikap kedua negara dalam merespons isu-isu strategis lain, termasuk dinamika di Laut China Selatan. Keretakan hubungan tersebut menunjukkan bagaimana persoalan bilateral yang tidak terselesaikan dapat meluas menjadi perbedaan sikap dalam isu kawasan.

Selain konflik batas wilayah dan klaim kedaulatan, ASEAN juga menghadapi tekanan dari interaksi negara anggota dengan kekuatan militer eksternal. Prinsip non-intervensi menjadi tantangan tersendiri ketika negara-negara anggota memilih untuk tidak mengkritik aliansi militer satu sama lain. 

Ha mencontohkan bahwa meskipun Malaysia mungkin tidak sepenuhnya menyukai hubungan militer Kamboja dengan Tiongkok, mereka tetap memilih tidak mengemukakan keberatan secara terbuka. 

Pola serupa terlihat pada sikap negara-negara ASEAN lainnya terhadap hubungan militer Filipina dengan Amerika Serikat. Sikap saling menahan ini menunjukkan kompleksitas penerapan prinsip non-intervensi dalam konteks persaingan kekuatan besar.

Ha menilai bahwa hilangnya naluri kolektif untuk mengutamakan ASEAN telah mengurangi relevansi mekanisme formal organisasi tersebut. Padahal Piagam ASEAN telah menyediakan berbagai perangkat penyelesaian sengketa yang dirancang untuk menjaga stabilitas internal kawasan. 

Lebih lanjut, menurutnya, berkurangnya kepercayaan negara anggota terhadap mekanisme tersebut membuat konflik bilateral semakin rentan ditarik ke dalam lingkaran pengaruh eksternal. 

Ia menyampaikan bahwa keterlibatan pihak luar dalam konflik ASEAN justru bertentangan dengan mandat awal pembentukan organisasi, terutama oleh para pendiri yang menjadikan ASEAN sebagai wadah untuk mengelola perbedaan politik kawasan.

Dalam mencari solusi, Ha merekomendasikan agar para pemimpin ASEAN kembali mempelajari dan mengedepankan seni diplomasi senyap. Ia menekankan bahwa kualitas hubungan personal antar pemimpin kawasan memiliki pengaruh besar dalam meredakan ketegangan bilateral. 

Menurutnya, pendekatan informal semacam itu sering kali lebih efektif dibandingkan mekanisme formal yang jarang dimanfaatkan secara optimal. Dengan kata lain, membangun komunikasi personal antar pemimpin menjadi bagian penting dalam mempertahankan kohesi kawasan.

Konferensi tersebut menegaskan kembali bahwa ancaman terhadap persatuan ASEAN tidak hanya berasal dari dinamika eksternal, tetapi juga dari fragmen internal yang terus berulang. 

Konflik perbatasan, klaim kedaulatan, dan ketegangan akibat aliansi militer negara anggota menjadi faktor yang memengaruhi kemampuan organisasi ini dalam menjaga stabilitas kawasan. 

Dalam pada itu, seruan untuk menghidupkan kembali kepercayaan terhadap mekanisme regional serta mengutamakan diplomasi senyap menjadi rekomendasi strategis yang disampaikan Ha untuk memperkokoh fondasi kohesi ASEAN ke depan.

Type above and press Enter to search.